Selasa, 31 Mei 2011

0 AKU DAN MASA LALU

Aku tak pernah tau bagaimana senyuman dan rasa bahagia yang dirasakan seorang laki-laki tua namun perkasa nun jauh dari mataku saat ini, saat pertama aku hadir di depan matanya 23 tahun silam. Dan aku tak pernah tahu apa yang berkecamuk dalam batin lelaki yang sangat ku kagumi itu saat ia merelakan ku pergi jauh-jauh sekali dari matanya tuk sebuah tujuan mulia, menuntut ilmu. Saat itu aku terlalu muda dan belum tahu apa-apa tentang dunia, yang ku tahu “aku main apa hari ini”. Aku kualahan berhadapan dengan lingkungan baru yang diikat ketat dengan disiplin, Pondok Pesantren. Di tempat ini kurasakan Dunia ini seperti ibu tiri, harus bangun pagi-pagi sekali, sarapan dengan lauk teri, dan tak boleh begitu dan begini. Semua penuh dengan aturan dan harus ditepati, apabila melanggar cemeti adalah hadih utamanya, dan gertakkan adalah bonusnya. Sehingga timbul sugesti dalam kepalaku bahwa Pondok Pesantern adalah tempat paling kejam di dunia versi diriku sendiri. Aku ingin sekali bercerita panjang lebar tentang bagaimana kisah ku di Pondok Pesantren yang dapat kukatakan luar biasa, dan takkan pernah kulupakan, namun dalam kesempatan kali ini aku urungkan, nantilah ku ceritakan panjang lebar. :)
Dibalik kekejaman dan penderitaan yang kurasakan selama di Pondok Pesantren versi diriku sendiri, dari tempat mulia itu aku dapat mengerti apa itu hidup, bagaimana hidup dan bagaimana menghargai kehidupan, aku faham apa itu kebersaman dan apa itu berbagi, aku tahu apa itu penderitaan dan bagaimana menyikapi sebuah penderitaan, dan yang terpenting adalah dari tempat luar biasa itu aku menemukan idealisme ku sebagai seseorang yang memiliki kepekaan tinggi terhadap orang-orang yang ada disekitarnya. Kadang aku heran, karena lebih peduli orang lain dari pada diriku sendiri, lebih baik aku yang kelaparan daripada temanku yang keparan. Aku ingin sekali menjadi manusia yang egois namun God Spot (istilah yang diperkenalkan oleh Ari Ginanjar Agustian dalam buku ESQ) dalam sanubariku selalu membuat keinginan itu terpental.
Dalam masa transisi dari masa anak-anak ke  masa remaja, aku kembali berhadapan dengan satu kata yang sangat akrab denganku, penderitaan versi diriku sendiri. Selepas dari Pondok Pesantren, aku dilempar oleh waktu ke rumah kerabat ayah sebagai tempat tinggalku  selama 3 tahun untuk melanjutkan sekolah ke tingkat menengah. Dari asrama aku pindah ke istana, namun istana itu seperti neraka, tak ada lagi kebersamaan , tak ada kawan, tak ada lagi kata berbagi. Tiap hari pagi terjaga dan bekerja seperti seorang PRT, seperti cuci piring, cuci baju, menyapu, mengepel, meyniram tanaman, membuat the atau kopi untuk tamu, pekerjaan itu sungguh tidak laki-laki, bahkan sangat tidak laki-laki versi diriku sendiri. Dari istana itu semakin kuat pula sugesti dalam kepalaku bahwa dunia ini seperti  ibu tiri. Aku merasa seperti si Buang yang perankan oleh Erwin Gutawa dalam film Permata Bunda yang produksi tahun 1974. Cuma bedanya, si Buang dititipkan  di rumah seorang petani, sementar aku di titipkan di rumah seorang pegawai negeri, dan aku masih lebih beruntung dari si Buang, aku masih bisa sekolah dan si Buang yang mungil adalah seorang dalang topeng monyet. Namun saat ini sudah terbalik, si Buang telah menjadi menjadi Composser dan Arranger terkenal sementara aku masih berstatus mahasiswa yang masuk dalam daftar calon pengguran intelek indonesia.
Saat aku naik panggat dari pelajar ke mahasiswa tepatnya tahun 2005, lagi-lagi aku dilempar  oleh waktu ke tempat yang lebih jauh, ke sebuah pulau yang sangat indah, penuh dengan surga tersembunyi, Lombok. Hal ini di akibatkan oleh negeri kelahiranku masih terlalu miskin untuk memiliki sebuah universitas. Baru menjadi mahasiswa selama 1 semester, aku dirasuki oleh arwah sebuah benda yang sebernanya tak asing dimataku. Setiap melihatnya pikiran ku seperti terprogram otomatis ke suatu tempat yang indah, wanita-wanita cantik, nenek-nenek berpayung di tengah hujan lebat, orang-orang kelaparan, pengemis, tukang becak, supir bus usang karatan, ibu-ibu menyusui, serta imajinasi-imajinasi aneh lainya..
Benda aneh yang merasuki kepala itu di temukan pada abad ke-11 oleh seorang ilmuan muslim bernama Al-Ahsen dan diberi nama Camera Obscura. 
Camera Obscura merupakan sebuah instrumen yang terdiri dari ruang gelap atau box, yang memantulkan cahaya melalui penggunaan 2 buah lensa konveks, kemudian meletakkan gambar  objek eksternal tersebut pada sebuah kertas/film yang diletakkan pada pusat fokus dari lensa tersebut. Dan salah satu orang yang berperan dalam perekembangan kamera adalah Jacques Daguerre1 .
1Jacques Daguerre merupakan salah satu dari orang yang berperanan dalam dunia perkembangan teknologi kamera sekaligus memberikan jasa pada perkembangan dunia fotogarfi kita. Daguerre dilahirkan tahun 1787 di kota Cormeilles di PerancisUtara.Waktu mudanya ia adalah seorang seniman. Pada umur pertengahan tiga puluhan ia merancang "diograma", barisan lukisan pemandangan yang indah, dipertunjukkan dengan bantuan efek cahaya. Sementara ia menggarap pekerjaan itu, ia menjadi tertarik dengan pengembangan suatu mekanisme untuk secara automatik melukiskan kembali pemandangan yang ada di dunia tanpa menggunakan kuas atau cat, iaitu: kamera. Di tahun 1827 ia bertemu dengan Joseph Nicephore Niepce yang juga sedang mencuba (yang sejauh itu lebih sukses) menciptakan kamera. Dua tahun kemudian mereka bekerjasama. 
Di tahun 1833 Niepce meninggal, tetapi Daguerre tetap melanjutkan percubaannya. Menjelang tahun 1837 ia berhasil mengembangkan sebuah sistem praktis fotografi yang disebutnya"daguerreotype. (www. scbid.com)
  Semula aku berfikir bahwa benda ajaib itu sama seperti benda elektronik lainnya yang kumiliki contohnya radio butut di kamar kostku yang boleh ku bilang kandang kuda. Aku beranggapan bahwa benda itu hanya akan menjadi pajangan dan tak membawa dampak apa-apa dalam kehidupan ku maupun orang lain. Namun harian Kompas membuka fikiranku dengan photo suatu moment yang menurutku biasa-bisa saja apabila ku lihat secara nyata, namun begitu ter-Freze kamera Nikon D200 milik sang photographer menjadi sangat luar biasa, photo itu adalah photo seorang ibu sedang menyusui anaknya. Sejak saat itu ku nobatkan diriku sebagai pecinta photography yang belum mengerti apa itu photography. Dan Sejak saat itu pula aku ngidam stadium IV ingin memiliki kamera. Namun apa daya aku hanya anak seorang  PNS bergajil kecil, kuliah pun dengan hasil panen padi tahun kemaren yang di tabung khusus untukku.
Karena tak memiliki kamera, aku mulai belajar sisi lain dari photography yaitu Photo Editing/Manipulation secara otodidak dengan memanfaatkan kesaktian mbah google dan tanya sana-sani. Sehingga sampai saat ini aku sangat akrab dengan sebuah Sofware luar biasa jahatnya dan luar biasa hebatnya, Adobe Photoshop. Semangatku berapi-api, persis seperti apa yang di lantunkan kak Rhoma “masa muda masa yang berapi-api”.
4 tahun belum pula lulus dari Diploma 3 membuatku kembali memikirkan apa yang tengah berkecamuk dalam batin ayahku, lalu ku putuskan untuk fakum dari kegiatan mapala dan meneruskan secara tekun dan hasil aku lulus dengan hasil yang memuaskan tahun 2009 silam. Dan tahun 2010 lagi-lagi aku hempas sang waktu ke tanah tempat aku menulis tulisan ini, Yogyakarta. 
Jika ini adalah api, maka api ini belum pernah padam dari pertama kali aku menyulutnya, kian hari kian berkobar, apa lagi tanah Jogja merupakan rumah segala macam seni sampai seni tingkat edan yang mudah di cerna otak kiri maupun kanan. Berkat mengamalkan titah sang Khalik innallaha ma asshobirin (sesungguhnya allah bersama orang-orang yang sabar), Tuhan memberikan hadiah untukku melalui perantara ayahku sebuah kamera DSLR, benda yang merasuki otakku 5 tahun silam kini nyata di mata dan tanganku. Aku bahagia bukan buatan, persis seperti seseorang yang mendadak kaya karena menjadi anggota DPR. 
Aku tak mampu mengubah dunia seperti apa yang ku, kau, kita, dan mereka inginkan. Mengubah dunia terlalu muluk buatku dan itu takkan pernah terjadi. Aku hanya ingin membuat orang lain bahagia dengan apa yang ku raih dan membuat orang lain tersenyum bahkan sadar melihat  dan memetik makna dari karyaku. “Standar terbaik untuk mengukur keberhasilan dalam kehidupan adalah dengan menghitung jumlah orang yang kita buat bahagia” (Robert J.Lumsden). 
Aku memiliki imajinasi diatas normal versi teman-temanku dan mimpi terbesarku adalah  menjadi seorang Photographer profesional dan ternama menyaingi Andy Darwis yang tersohor itu.  Semoga Elanor Roosevelt tidak sedang mabuk atau mengantuk dalam menulis tulisan ini “Masa depan adalah milik mereka yang percaya pada indahnya mimpi-mimpi mereka”, karena akupun percaya dan yakin akan indahnya mimpi-mimpiku, dan aku semakin yakin karena Andrea Hirata telah membuktikan akan dahsyatnya sebuah mimpi. 
Melalui karyaku, aku ingin bebagi momentum kepada orang-orang di sekitarku bahkan seluruh dunia tentang kebahagiaan,  apa itu hidup, bagaimana hidup, apa yang kita lakukan untuk hidup, apa itu pederitaan dan apa itu berbagi, serta arti sebuah kebersaaman yang ku abadikan saat aku menekan shuter.  

----------------------TO BE CONTINUE---------------------------------------------

Rabu, 25 Agustus 2010

0 Merpati di Titik Kulminasi

Jejak kaki mungilmu masih berbekas di pasir pantai ini
Senja itu masih hangat menyelimuti pedihnya kulminasi

Bagai deras erosi
hatiku terkikis menyisakan satu daratan tuk di huni
Daratan yang selalu bersembunyi
di balik redup cahaya ilusi
terus berlari dan sembunyi
Dan saat itu aku berjanji
Ku kan tetap berdiri
sampai kita berubah menjadi sepasang merpati

Kini kita adalah sepasang merpati
Namun tak mampu terbang melintasi pelangi
Sayap hanya terkepak dalam sangkar penuh duri
Ku takkan berlari dan terbang sendiri
Tapi Biarkan aku pergi
Lalu kembali membawa sebuah kunci
Agar kita mampu tebang bersama mengecup kening rinjani
hinggap di kubah Taj Mahal lalu kembali dalam balutan cinta suci



 

CELOTEH KU Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates